Oleh :Safrizal Kimia-Unsyiah Banda Aceh
I. PengantarPakar manajemen Peter Drucker (1993) memberikan ilustrasi menarik tentang pendidikan modern. Ia menulis, sebelum 1550, Cina dan Kekaisaran Ottoman – lembaga politik Islam – telah menjadi “adidaya” tingkat dunia di berbagai bidang, mulai dari politik, militer, ekonomi, sains dan budaya.
Sampai 1550, keduanya berkuasa. Mulai 1550 sampai selanjutnya, keduanya stagnan. Keduanya juga menjadi sangat melihat kedalam (inward looking) dan defensif.
Sementara itu di Barat, tulis Drucker, sekolah dipandang menjadi semacam lembaga “progresif” dan mesin dari kemajuan di segala bidang seperti budaya, seni, literatur dan sains, di bidang ekonomi, politik dan militer. Tak mengherankan saat ini dikenal dunia pendidikan disebut sebagai agen perubahan.
Di dunia Islam dan Cina, sebaliknya, sekolah dipandang sebagai penghambat utama terhadap kemajuan (progress), pemberontakan melawan sekolah merupakan awal dari semua gerakan reformasi di dua peradaban ini.
Ulasan Drucker itu memperlihatkan bahwa dunia Islam umumnya, dan universitas Islam khususnya telah tertinggal di segala bidang. Dengan kata lain, sekolah atau perguruan tinggi tidak melahirkan kemajuan dalam berpikir malahan seperti disebutkan tadi terkungkung alam pemikirannya dan mandek.
Artikel ini akan berusaha menyentuh beberapa satu aspek dari dari penelitian tentang dinamika universitas. Pertama, akan dilihat karakter peradaban yang dominan saat ini yang akan berpengaruh pada model pendidikan tinggi. Kedua, artikel ini akan secara eksploratif melihat ciri-ciri universitas kontemporer yang berhasil baik dari segi kualitas dan kuantitas.
II. Knowledge worker (pekerja pengetahuan)
Istilah knowledge worker saat ini termasuk populer untuk menggantikan technical worker yang banyak mengandalkan kemampuan teknis seseorang untuk dikatakan “berpendidikan” atau punya akses dalam dunia karir.
Atau dapat pula disebut sebagai perubahan dunia yang menekankan pada comparative advantage (keuntungan komparatif) menjadi competitive advantage (keuntungan kompetitif). Keunggulan komparatif sangat menekankan pada keuntungan geostrategis terutama kaitannya dengan sumber daya alam. Sedangkan keuntungan kompetitif bersandar pada penguasaan ilmu dan informasi.
Situasi ini memunculkan istilah knowledge society. Dalam buku The Age of Discontinuity (1969) melukiskan perubahan itu dengan pekerjaan tukang ketik dan pekerja yang menghadapi komputer. Menurut dia, seorang tukang ketik tinggal menekan tuts mesin ketika maka yang ditekan akan keluar sesuai dengan huruf yang diinginkan. Semuanya serba mekanis dan tidak memerlukan pemikiran yang mendalam tentang cara mengoperasikan mesin ketika.
Namun ini berbeda dengan komputer. Apa yang ditekan memerlukan ilmu yang padat di belakangnya. Demikian pula apa yang ditekan tidak selalu mengeluarkan huruf yang dikehendaki. Bahkan untuk masuk dalam program menulis, misalnya, seseorang perlu belajar bagaimana mengoperasikan komputer dan bagaimana pula mengoperasikan perangkat lunak pemroses kata.
Ini menunjukkan bahwa tuntutan terhadap seseorang meningkat mulai dari hal sederhana kini menjadi rumit, menjadi padat ilmu. Bahkan kalau kita lihat dalam kehidupan, setiap pekerjaan saat ini – terutama yang nilai tambahnya tinggi – memerlukan pendidikan dan pelatihan mendalam. Bahkan perlu bertahun-tahun untuk menguasai “ilmu” yang dikehendaki. Namun demikian hasilnya pun akan terasa lebih daripada mereka yang studi hanya masalah teknis.
Lingkungan pun ternyata membutuhkan perguruan yang bisa menghasilkan mereka yang jadi pekerja otak, manusia yang mampu menggunakan akalnya. Tentu dalam format Islam, pekerja otak ini dilengkapi dengan iman dan taqwa. Namun demikian untuk menggabungkan dua kekuatan itu yakni menyerap kemajuan peradaban Barat dan memanfaatkannya dengan peradaban Islam, diperlukan sebuah eksplorasi yang inovatif.
Berdasarkan lingkungan yang berubah inilah kita melihat dalam alam pendidikan Barat dan Timur terjadi interaksi. Drucker memberikan ciri-ciri bagaimana perguruan yang diperlukan dalam alam sekarang:
- sekolah perlu menyediakan literacy universal dalam tingkat
tinggi
melebihi arti literacy sekarang ini.
- lembaga pendidikan harus mendorong mahasiswa di semua
tingkat dan semua usia dengan motivasi untuk belajar dan
disiplin pendidikan berkelanjutan.
- Perguruan harus menjadi sistem terbuka, mampu diakses untuk orang-orang terdidik dan mereka yang karena alasan apapun tak memiliki akses untuk belajar lebih tinggi pada tahun-tahun sebelumnya.
- Perguruan itu harus mampu menanamkan pengetahuan baik sebagai substansi maupun proses.
- Akhirnya sekolah bukan lagi monopoli lembaga pendidikan. Pendidikan masa sekarang harus bermitra dengan para pekerja dan organisasi lainnya.
Pengetahuan pada zaman sekarang telah menjadi sumber kemajuan masyarakat. Posisi sosial perguruan adalah menjadi “produser” dan “saluran distributif” pengetahuan. Bahkan ada yang berani melukiskan bahwa sesungguhnya modal pun sekarang bersifat intelektual bukan hanya material. Ini berarti bahwa perguruan tinggi ditantang untuk memenuhi tuntutan masyarakat modern akan lahirnya modal intelektual sebagai sumber kemajuan masyarakat.
III. Ciri Universitas
Seperti halnya nama yang disandang manusia ataupun benda-benda lainnya yang diciptakan Allah SWT, pasti memiliki kekhasan yang membedakan satu sama lain. Bahkan perbedaan itu jadi memperkaya khasanah peradaban. Keanekaragaman adalah bagian dari Keagungan Maha Pencipta.
Hal ini kita lihat pula dalam lembaga pendidikan modern di mancanegara. Universitas tingkat dunia seperti Harvard, Oxford, Cambridge, Al Azhar, London School of Economics atau MIT, memiliki kekhasan dan keunggulan masing-masing.
Di Inggris, Universitas Edinburg dan Birmingham terkenal akan penelitian eksakta. Oleh karena itu anggaran untuk penelitian menunjukkan ranking tinggi dibandingkan Oxford dan Cambridge. Dua universitas tua ini juga memiliki ciri tersendiri akan tradisi intelektual yang melahirkan para pemimpin dunia seperti Thatcher atau Benazir Bhutto. Sedangkan London School banyak melahirkan tokoh-tokoh teoritisi yang berpengaruh di tingkat internasional. Sementara universitas tak terkenal seperti Warwick ternyata paling unggul di bidang manajemen sehingga dengan satu fakultas saja namanya harum di manca negara. Bristol terkenal dengan teknologi ruang angkasa sedangkan Edinburg University sangat handal dalam kajian agama Islam.
Di Amerika Serikat, MIT terkenal dengan kajian teknologi terapan sehingga banyak menyedot para ilmuwan dari mancanegara. John Hopkins University terkenal dengan analisis internasional dan fakultas hukumnya. Berkeley University dikenal di Indonesia karena banyak melahirkan teknokrat ekonomi yang membawa Indonesia.
Demikian pula di Perancis, Jerman yang terkenal dengan teknologi, Cina, Jepang dan negara-negara lainnya. Semua universitas unggul memiliki identitas kelas dunia yang bisa diandalkan untuk mengangkat tidak hanya fakultas atau jurusannya tetapi juga seluruh nama universitas.
Di Mesir, Universitas Al Azhar terkenal dengan kajian agamanya meskipun masih cukup ortodoks untuk zaman sekarang. Namun demikian kebesaran namanya tak menghalangi berbagai macam mahasiswa untuk mengikuti pendidikan di sana.
Dari ciri-ciri universitas yang muncul di manca negara, tampaknya ciri-ciri dan kekhasan dalam keunggulan sebuah bidang dan jurusan digunakan sebagai bahan promosi yang handal. Maka saat seorang calon mahasiswa bertanya pada dirinya dimana ia masuk kedokteran, manajemen, teknik sipil, agama, politik atau hukum, maka nama-nama tertentu akan jadi pilihan karena dikenal “kebesarannya” yang melahirkan tokoh-tokoh unggulan dalam masyarakat, atau setidaknya alumninya tidak tercemar dengan perbuatan tercela.
IV. Kesimpulan
Berdasarkan perkembangan masyarakat dimana pekerja otak dan inovatif lebih dibutuhkan dalam masyarakat sekarang maka perguruan tinggi harus memacu para mahasiswanya untuk kreatif, inovatif dan progresif sehingga bisa langsung beradaptasi dengan lingkungan masyarakat.
Sebuah universitas yang sehat dari segi finansial mapun pengembangan intelektual, tentunya memiliki daya tarik sehingga mahasiswa berbondong-bondong mendaftarkan diri, bukan karena perhitungan terjangkau tetapi juga karena kualitas yang dibutuhkan masyarakat. Daya tarik itu penting karena terlihat seperti dari perkembangan universitas di manca negara bisa mendorong calon mahasiswa mengayunkan langkah ke perguruan bersangkutan. Namun biasanya untuk mengangkat daya tarik itu pada awalnya dibutuhkan energi besar dari segenap civitas academic.
Daftar Pustaka
Drucker, Peter F., The Age of Discontinuity. New York, Harper and Row Publishers, 1969.
___________, Post-Capitalist Society. New York, Harper Business, 1993.
The Economist, March 29th 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar